
Ada jenis laki-laki yang dilahirkan bukan untuk dimiliki,
melainkan untuk disesali.
Yang hadir bukan membawa pelipur,
tapi mendatangkan luka dengan cara paling halus: melalui perhatian yang mencengkram seperti rantai tak kasat mata, melalui cinta yang tumbuh dari akar ketakukan bukan dari tanah keyakinan.
Laki-laki ini bukan tak ingin menjadi baik.
Ia hanya tak pernah tau bagaimana caranya, tanpa melukai dirinya sendiri.
Setiap hari ia berdiri di depan cermin,
melihat bayangannya sendiri seperti pecahan kaca
—
serpihannya menyusun sosok yang utuh di luar,
namun hancur berkeping-keping di dalam.
Ia pernah menguncap janji:
“Aku akan jadi yang terbaik untukmu.”
Tapi semesta tahu, itu hanya mantra penenang
yang dilantunkan oleh orang yang bahkan tak bisa menyembuhkan luka dirinya sendiri.
Versi terbaik yang dijanjikan,
ternyata hanya hantu dari harapan yang terlalu sering digantung,
dan kini membusuk di langit-langit pikiran yang penuh kabut.
—
Laki-laki ini hidup dengan jantung yang berdegup seperti genderang perang,
berdenting setiap waktu oleh kekhawatiran yang tak masuk akal.
Ia mencintai seperti gempa bumi:
tak terduga, mengguncang,
dan meninggalkan reruntuhan di hati siapa pun yang terlalu dekat.
—
Segalanya ia pikirkan,
segala kemungkinan ia cemas-kan,
hingga akhirnya yang ia berikan bukan kenyamanan,
melainkan penat-
yang menjalar diam-diam seperti penyakit yang tak tampak di rontgen.
Setiap malam, ia memeluk bayang-bayang kehilangan,
bercakap-cakap dengan skenario yang belum pernah terjadi,
namun ia percaya seperti kitab suci yang diturunkan langsung dari langit:
bahwa ia akan ditinggalkan,
bahwa ia tak cukup,
bahwa cinta yang ia beri hanya membuat orang yang dicintainya ingin lari lebih dari cepat.
Padahal yang ia inginkan hanya sederhana :
duduk di samping seseorang tanpa merasa harus menjadi lebih dari dirinya.
Namun ia selalu dikutuk oleh pikirannya sendiri,
yang setiap saat berbisik bahwa kehadirannya adalah beban,
bahwa langkahnya hanya menambah luka,
bahwa keberadaanya adalah kegagalan yang terus-menerus diperpanjang.
—
Cintanya bukan pelangi setelah hujan,
melainkan badai yang tak tahu kapan berhenti.
Ia mencintai bukan dengan tangan yang terbuka,
tetapi dengan jemari yang gemetar,
takut kehilangan bahkan sebelum sempat mengenggam.
Laki-laki ini berjalan di antara dua kutub:
ingin membuat bahagia, tapi takut disalahkan.
Ingin bertahan, tapi yakin bahwa ia tak pantas diperjuangkan.
Dan pada akhirnya,
ia membunuh dirinya sendiri secara perlahan,
bukan dengan darah,
tapi dengan rasa bersalah yang diternakkan hari demi hari,
hingga menjadi monster yang menggerogoti kewarasan dari dalam.
Ia tidak ditinggalkan karena kurang cinta,
tapi karena terlalu banyak luka yang ia taburkan sambil berkata
“Aku hanya takut kehilanganmu.”
Tak ada yang lebih menyedihkan daripada seseorang yang mencintai
dengan cara yang tak pernah diminta.
Dan dari semua laki-laki di dunia,
barangkali jenis inilah yang paling sunyi:
yang cintanya besar,
tapi selalu salah arah.
yang jiwanya rapuh,
tapi terus berusaha menampung dunia.
yang ingin menjadi segalanya,
namun bahkan tak tahu bagaimana caranya,
menjadi seseorang.